Cari di Blog Ini

Sabtu, 01 April 2023

Menghapus Stigma dan Diskriminasi pada ODHIV (Orang dengan HIV/AIDS)

Bagi sebagian orang tentu sudah tidak asing lagi dengan penyakit HIV/AIDS. HIV/AIDS disebabkan oleh virus yang menyerang sistem kekebalan/imun tubuh manusia. Namun ternyata secara medis, HIV dan AIDS adalah dua gangguan yang berbeda, meskipun sumber penyakitnya berasal dari virus. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusiaJadi, HIV akan melemahkan tubuh manusia terhadap infeksi oportunistik (opportunistic infection), seperti pneumonia, salmonella, kandidiasis, toxoplasma, and Tuberkulosis (TBC). Selain itu, virus ini juga merusak perlindungan sel kanker. Selanjutnya AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah kondisi akibat serangan virus HIV.  AIDS bisa disebut juga sebagai HIV stadium 3 dengan kondisi dan gejala yang kompleks.

HIV dan AIDS adalah penyakit yang penularannya terjadi melalui cairan tubuh, seperti darah, air susu ibu (ASI), cairan yang dihasilkan dari organ reproduksi. Umumnya terjadi karena aktivitas seksual (homoseksual dan heteroseksual tanpa memakai kondom), penggunaan jarum suntik berulang dan bergantian (dilakukan saat penggunaan zat terlarang), penularan dari ibu hamil yang mengidap HIV/AIDS melalui plasenta ke janin, serta ibu menyusui.

Berdasarkan data WHO yang dikutip dalam Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, jumlah kasus HIV dan AIDS di Indonesia pada tahun 2019 mencapai 50.282. Kasus ini mengalami peningkatan signifikan pada Juni 2022, di mana kasusnya telah mencapai 522.674 berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI. Sehingga, terjadi kenaikan kasus sebanyak 13% dalam 3 tahun.


Sejak kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Bali pada tahun 1987, jumlah kasus yang ditemukan terus bertambah dan menyebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Salah satu kendala dalam pengendalian penyakit HIV/AIDS di Indonesia adalah stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS (ODHIV). Banyak stigma dan diskriminasi pada ODHIV yang muncul di masyarakat di antaranya adalah tidak bersedia makan makanan yang disediakan atau dijual oleh ODHIV, tidak membolehkan anaknya bermain bersama dengan anak HIV, tidak mau menggunakan toilet bersama dengan ODHIV, bahkan menolak untuk tinggal dekat dengan orang yang menunjukkan gejala HIV/AIDS. 

Apabila terdapat ODHIV dalam keluarga, mereka merasa takut untuk tidur bersama dengan ODHIV dan tidak bersedia merawat seperti menyiapkan makanan dan membersihkan peralatan makan, serta duduk dekat dengan orang-orang terinfeksi HIV. Bahkan terkadang masyarakat yang tidak berkepentingan terlalu ingin tahu dan berusaha untuk menyebarkan identitas dari ODHIV sampai memaksakan diri mencari dan bertanya kepada petugas kesehatan yang melakukan perawatan pada ODHIV tersebut. Padahal perlindungan terhadap identitas pasien telah diatur dalam Pasal 57 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa setiap pasien berhak atas kerahasiaan kondisi medis yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan. Selanjutnya perlindungan terhadap identitas pasien juga diatur pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien yang menyebutkan bahwa Pasien berhak mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data medisnya serta mendapatkan akses terhadap isi rekam medis.

ODHIV juga sering kali mendapatkan perlakuan diskriminasi dari tenaga kesehatan yang seharusnya melayani dan mengobati mereka tanpa memandang latar belakangnya. Diskriminasi yang sering mereka alami adalah pembiaran (neglected) pasien dan penggunaan alat pelindung diri berlebihan oleh tenaga kesehatan, termasuk penggunaan masker, apron, dan sarung tangan ganda. Beberapa bentuk ekstrem yang juga dilaporkan oleh pasien adalah tenaga kesehatan yang menolak bersentuhan, bersalaman, melakukan pemeriksaan fisik, menolak memberikan layanan pengobatan pada pasien, serta mengabaikan kerahasiaan pasien. menyebutkan HIV dengan nada lantang, pemberian kode pada status pasien, tempat pembuangan sampah yang dibedakan dan diberi label HIV, serta bentuk pelayanan yang berbeda dari pasien lain.

Bentuk pelayanan yang berbeda adalah perawatan isolasi, di mana pemberian makanan lewat bawah pintu, tidak mengganti alas tempat tidur, dan petugas yang masuk ruangan menggunakan alat pelindung secara berlebihan. Bahkan terdapat kasus tindakan yang dilakukan tanpa informed consent, yaitu pemeriksaan darah tertentu. Perbedaan perlakuan juga dialami keluarga ODHIV yang meninggal, seperti perbedaan biaya pemulasaran jenazah yang signifikan.

Stigma dan diskriminasi membuat ODHIV menyembunyikan status HIV positifnya dan malu untuk memeriksakan kesehatannya. Akibatnya, ia tidak akan mendapat pengobatan dan perawatan yang bisa berakibat meningkatnya risiko kematian ODHA dan penularan HIV/AIDS di masyarakat. Sangat memprihatinkan ketika mengetahui bahwa telah terjadi peningkatan jumlah kasus HIV dan AIDS pada perempuan yang tidak berperilaku seksual berisiko tinggi seperti ibu rumah tangga biasa namun tertular dari pasangan tetapnya (suami) yang berperilaku seksual berisiko tinggi. Dampak yang lebih mengerikan bila terjadi peningkatan infeksi pada ibu produktif akan menghasilkan bayi-bayi yang dilahirkannya berisiko terinfeksi HIV.

Sangat memprihatinkan ketika ODHIV diasingkan dari keluarga, teman, atau bahkan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Ia seakan menjadi momok yang menakutkan, seakan membawa sebuah penyakit kutukan. ODHIV membutuhkan dukungan moril dari keluarga, sahabat, dan orang-orang yang terdekatnya, serta petugas kesehatan yang merawatnya dalam menghadapi masa-masa sulit saat terkena musibah tersebut. ODHIV membutuhkan lingkungan yang penuh empati dan kepedulian terhadap penderitaan yang dialaminya. Masyarakat di lingkungannya harus mampu memotivasinya untuk bangkit dari segala keterpurukan, bukan untuk dihakimi dengan vonis dan stigma buruk dan diskriminasi baginya.

Mari hapus stigma dan diskriminasi pada ODHIV. Lawan penyakitnya, bukan penderitanya. Stop HIV/AIDS dengan melakukan edukasi kepada masyarakat agar paham terhadap penyakit HIV/AIDS, melakukan deteksi dini sehingga ODHIV dapat mengetahui status penyakitnya, memberikan pengobatan anti retroviral (ARV) kepada ODHIV, dan mempertahankan ODHIV yang sedang dalam pengobatan ARV tidak terdeteksi kembali virusnya. <Penulis>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar