Bagi sebagian orang tentu sudah tidak asing lagi dengan penyakit HIV/AIDS. HIV/AIDS disebabkan oleh virus yang menyerang sistem kekebalan/imun tubuh manusia. Namun ternyata secara medis, HIV dan AIDS adalah dua gangguan yang berbeda, meskipun sumber penyakitnya berasal dari virus. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Jadi, HIV akan melemahkan tubuh manusia terhadap infeksi oportunistik (opportunistic infection), seperti pneumonia, salmonella, kandidiasis, toxoplasma, and Tuberkulosis (TBC). Selain itu, virus ini juga merusak perlindungan sel kanker. Selanjutnya AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah kondisi akibat serangan virus HIV. AIDS bisa disebut juga sebagai HIV stadium 3 dengan kondisi dan gejala yang kompleks.
HIV dan AIDS adalah penyakit yang penularannya terjadi melalui cairan tubuh, seperti darah, air susu ibu (ASI), cairan yang dihasilkan dari organ reproduksi. Umumnya terjadi karena aktivitas seksual (homoseksual dan heteroseksual tanpa memakai kondom), penggunaan jarum suntik berulang dan bergantian (dilakukan saat penggunaan zat terlarang), penularan dari ibu hamil yang mengidap HIV/AIDS melalui plasenta ke janin, serta ibu menyusui.
Sejak kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Bali pada tahun
1987, jumlah kasus yang ditemukan terus bertambah dan menyebar di hampir
seluruh provinsi di Indonesia.
Apabila terdapat ODHIV dalam keluarga, mereka merasa takut untuk tidur bersama dengan ODHIV dan tidak bersedia merawat seperti menyiapkan makanan dan membersihkan peralatan makan, serta duduk dekat dengan orang-orang terinfeksi HIV. Bahkan terkadang masyarakat yang tidak berkepentingan terlalu ingin tahu dan berusaha untuk menyebarkan identitas dari ODHIV sampai memaksakan diri mencari dan bertanya kepada petugas kesehatan yang melakukan perawatan pada ODHIV tersebut. Padahal perlindungan terhadap identitas pasien telah diatur dalam Pasal 57 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa setiap pasien berhak atas kerahasiaan kondisi medis yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan. Selanjutnya perlindungan terhadap identitas pasien juga diatur pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien yang menyebutkan bahwa Pasien berhak mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data medisnya serta mendapatkan akses terhadap isi rekam medis.
ODHIV juga sering kali mendapatkan perlakuan diskriminasi dari tenaga kesehatan yang seharusnya melayani dan mengobati mereka tanpa memandang latar belakangnya. Diskriminasi yang sering mereka alami adalah pembiaran (neglected) pasien dan penggunaan alat pelindung diri berlebihan oleh tenaga kesehatan, termasuk penggunaan masker, apron, dan sarung tangan ganda. Beberapa bentuk ekstrem yang juga dilaporkan oleh pasien adalah tenaga kesehatan yang menolak bersentuhan, bersalaman, melakukan pemeriksaan fisik, menolak memberikan layanan pengobatan pada pasien, serta mengabaikan kerahasiaan pasien. menyebutkan HIV dengan nada lantang, pemberian kode pada status pasien, tempat pembuangan sampah yang dibedakan dan diberi label HIV, serta bentuk pelayanan yang berbeda dari pasien lain.
Bentuk pelayanan yang berbeda adalah perawatan isolasi, di mana pemberian makanan lewat bawah pintu, tidak mengganti alas tempat tidur, dan petugas yang masuk ruangan menggunakan alat pelindung secara berlebihan. Bahkan terdapat kasus tindakan yang dilakukan tanpa informed consent, yaitu pemeriksaan darah tertentu. Perbedaan perlakuan juga dialami keluarga ODHIV yang meninggal, seperti perbedaan biaya pemulasaran jenazah yang signifikan.
Stigma dan diskriminasi membuat ODHIV
menyembunyikan status HIV positifnya dan malu untuk memeriksakan kesehatannya.
Akibatnya, ia tidak akan mendapat pengobatan dan perawatan yang bisa berakibat
meningkatnya risiko kematian ODHA dan penularan HIV/AIDS di masyarakat. Sangat memprihatinkan ketika mengetahui bahwa telah terjadi
peningkatan jumlah kasus HIV dan AIDS pada perempuan yang tidak berperilaku
seksual berisiko tinggi seperti ibu rumah tangga biasa namun tertular dari
pasangan tetapnya (suami) yang berperilaku seksual berisiko tinggi. Dampak yang
lebih mengerikan bila terjadi peningkatan infeksi pada ibu produktif akan
menghasilkan bayi-bayi yang dilahirkannya berisiko terinfeksi HIV.
Sangat memprihatinkan ketika ODHIV diasingkan dari keluarga, teman, atau
bahkan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Ia seakan menjadi momok yang
menakutkan, seakan membawa sebuah penyakit kutukan. ODHIV membutuhkan dukungan
moril dari keluarga, sahabat, dan orang-orang yang terdekatnya, serta petugas
kesehatan yang merawatnya dalam menghadapi masa-masa sulit saat terkena musibah
tersebut. ODHIV membutuhkan lingkungan yang penuh empati dan kepedulian
terhadap penderitaan yang dialaminya. Masyarakat di lingkungannya harus mampu
memotivasinya untuk bangkit dari segala keterpurukan, bukan untuk dihakimi
dengan vonis dan stigma buruk dan diskriminasi baginya.
Mari hapus stigma dan diskriminasi pada ODHIV. Lawan penyakitnya, bukan penderitanya. Stop HIV/AIDS dengan melakukan edukasi kepada masyarakat agar paham terhadap penyakit HIV/AIDS, melakukan deteksi dini sehingga ODHIV dapat mengetahui status penyakitnya, memberikan pengobatan anti retroviral (ARV) kepada ODHIV, dan mempertahankan ODHIV yang sedang dalam pengobatan ARV tidak terdeteksi kembali virusnya. <Penulis>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar